Jakarta, Trivianews.id-Di balik wajah polos anak-anak usia dini, bisa tersembunyi potensi krisis kesehatan yang berdampak panjang pada tumbuh kembang, kecerdasan, dan perilaku mereka.
Risiko, seperti Anemia defisiensi besi (ADB) pada anak, bisa saja mengintai kapan saja. ADB ini bukan sekadar masalah gizi yang sepele, melainkan ancaman serius bagi kualitas generasi masa depan.
Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), prevalensi anemia pada anak balita mencapai 38,5 persen secara global. Ironisnya, sekitar 50 persen dari angka tersebut merupakan kasus ADB, sebuah kondisi yang terjadi akibat kekurangan asupan zat besi dalam tubuh.
Angka ini bukan hanya mencerminkan kegagalan sistem gizi, tetapi juga memperlihatkan urgensi kolaborasi lintas sektor untuk memastikan anak-anak mendapatkan nutrisi yang memadai pada masa emas pertumbuhannya.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Prof Dr dr Harapan Parlindungan Ringoringo, SpA, Subsp H Onk(K) menegaskan bahwa ADB adalah salah satu penyakit dengan prevalensi tertinggi di dunia dan perlu penanganan yang serius.
Terdapat berbagai faktor penyebab ADB pada anak, mulai dari kondisi bayi lahir dengan berat badan rendah, kelahiran kembar, hingga riwayat ibu yang juga menderita anemia serupa.
Selain itu, kekurangan zat besi dari makanan sehari-hari menjadi penyumbang terbesar dari kasus ADB ini.
Ketika kebutuhan zat besi tidak terpenuhi, konsekuensinya bukan hanya pada kesehatan fisik anak, tapi juga berdampak pada aspek neurologis dan perkembangan mentalnya.
ADB yang tidak tertangani dapat menimbulkan gangguan perkembangan motorik dan kognitif, bahkan mengganggu kemampuan penglihatan dan pendengaran.
Ada pula risiko gangguan proses mielinisasi otak, yakni proses penting pembentukan lapisan pelindung saraf untuk kelancaran pengiriman sinyal dalam sistem saraf pusat.
Dengan kata lain, anak yang mengalami ADB akan menghadapi berbagai hambatan dalam menjalani masa pertumbuhan yang seharusnya menjadi fondasi bagi pencapaian prestasi dan kemandirian di masa depan.
Kekhawatiran serupa disampaikan oleh dr Agnes Tri Harjaningrum, SpA, seorang dokter spesialis anak, yang secara tegas menyatakan bahwa ADB dapat menurunkan IQ anak secara signifikan.
Berdasarkan sejumlah penelitian, IQ anak bisa turun 8 hingga 9 poin akibat kekurangan zat besi pada masa awal kehidupannya.
Penurunan ini bersifat permanen apabila tidak segera ditangani sejak dini. Kalau tidak “dikoreksi” di awal, nanti di masa remajanya tidak berubah. Kondisi itu sangat disayangkan, padahal hanya cukup ditangani dengan pemberian zat besi.
Hasil penelitian ini seharusnya menggugah kesadaran publik bahwa pencegahan ADB bukan sekadar anjuran medis, tetapi investasi jangka panjang untuk menumbuhkan kualitas sumber daya manusia.
Kebutuhan Zat Besi
Sayangnya, banyak orang tua tidak menyadari gejala awal ADB. Pucat, lesu, dan ketidakaktifan pada anak kerap dianggap sebagai hal biasa atau hanya gangguan sementara.
Padahal, menurut kalangan medis, jika gejala tersebut sudah muncul, itu artinya kondisi ADB sudah cukup parah dan penanganan pencegahan telah terlambat.
Penyebab lain dari tingginya angka ADB pada anak adalah kepercayaan yang berlebihan bahwa ASI saja sudah cukup memenuhi kebutuhan nutrisi anak, termasuk zat besi.
Tidak salah bahwa ASI adalah sumber nutrisi terbaik bagi bayi hingga usia enam bulan pertama kehidupannya. Kandungan makro dan mikronutrien dalam ASI menjadikannya makanan alami paling ideal bagi bayi baru lahir.
Namun, memasuki usia enam bulan, kebutuhan zat besi bayi meningkat secara signifikan seiring percepatan pertumbuhan dan perkembangan organ vitalnya. Di sinilah peran penting dari makanan pendamping ASI (MPASI) yang mengandung zat besi.
Menurut kalangan medis, kualitas ASI mulai tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan zat besi bayi setelah usia enam bulan. Karena itu, bayi perlu mendapatkan asupan tambahan dari makanan atau minuman yang telah difortifikasi dengan zat besi.
Salah satu solusi yang paling praktis dan efisien adalah memberikan MPASI yang sudah mengandung zat besi dalam jumlah memadai, termasuk dalam bentuk susu pertumbuhan yang difortifikasi.
Anak yang mendapatkan ASI eksklusif memerlukan perhatian khusus, karena tidak seperti susu formula yang biasanya telah difortifikasi dengan zat besi, ASI cenderung tidak cukup memenuhi kebutuhan zat besi, setelah bayi berusia enam bulan.
Hal ini menjadi sangat penting untuk disosialisasikan kepada para orang tua, terutama ibu-ibu muda, agar tidak terlena dengan asumsi bahwa pemberian ASI eksklusif hingga usia lebih dari enam bulan otomatis menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan nutrisi anak. Justru di usia inilah MPASI fortifikasi harus mulai diperkenalkan secara sistematis dan konsisten.
Pentingnya fortifikasi makanan dalam pencegahan ADB bukanlah wacana baru, tetapi implementasinya seringkali tidak merata.
Masih banyak keluarga yang belum memiliki akses pada MPASI fortifikasi, atau bahkan belum memahami urgensinya. Pemerintah dan dunia medis perlu bersinergi lebih kuat dalam memperluas edukasi publik tentang ADB dan pentingnya pemenuhan zat besi.
Edukasi harus menjangkau seluruh lapisan masyarakat dengan bahasa yang sederhana dan disesuaikan dengan budaya lokal. Selain itu, perlu ada insentif bagi industri pangan agar semakin banyak produk MPASI yang difortifikasi dengan zat besi dan tersedia luas dengan harga terjangkau.
Anemia defisiensi besi adalah masalah gizi yang berdampak sistemik pada pertumbuhan fisik, mental, dan sosial anak. Dalam konteks pembangunan nasional, ADB seharusnya menjadi salah satu fokus utama karena menyangkut kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa depan.
Kegagalan mencegah ADB berarti kehilangan potensi kecerdasan, produktivitas, dan daya saing generasi penerus bangsa
Oleh karena itu, kesadaran kolektif tentang pentingnya MPASI fortifikasi bukan hanya tanggung jawab para ibu, melainkan juga seluruh pemangku kepentingan di bidang kesehatan, pendidikan, industri pangan, hingga pembuat kebijakan.
Mencegah ADB adalah langkah kecil dengan dampak besar. Langkah ini menjadi pintu masuk menuju generasi yang sehat, cerdas, dan kompetitif di panggung global.
(kur)